6 Oktober 2011

Traumatik Anak akibat Kekerasan

PENGANIAYAAN terhadap anak merupakan kenyataan yang sangat menyedihkan. Seharusnya anak dapat tumbuh dan berkembang ke arah positif. Anak adalah generasi penerus cita-cita bangsa.

Tanggung jawab terhadap perkembangan anak dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga, terutama orangtua yang berperan penting. Kenyataannya, saat ini marak terjadi penyiksaan atau kekerasan terhadap anak yang dilakukan orangtua kandungnya sendiri.
 

"Perlukaan bisa berupa cedera kepala (
head injury), patah tulang kepala, gegar otak, atau perdarahan otak. Pelukaan pada badan, anggota gerak dan alat kelamin, mulai luka lecet, luka robek, perdarahan atau lebam, luka bakar, hingga patah tulang," ujar Ketua Satuan Tugas Perlindungan dan Kesejahteraan Anak Indra Sugiarno dalam seminar "Child Abuse" di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 

Ada juga seorang bapak yang tega melakukan pelecehan terhadap anaknya. Kekerasan tersebut tidak hanya berujung traumatik terhadap jiwa sang anak, juga berakibat meninggalnya anak yang menjadi korban kekerasan. Kasus yang terbaru adalah kasus pembunuhan anak oleh ibu kandungnya sendiri.
 

"Tidak hanya satu kasus, pembunuhan oleh ibu kandung terhadap anak yang masih bayi dan balita ditemukan di beberapa tempat, paling tidak sejak dua tahun terakhir," katanya.
Kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi di dalam rumah atau lingkungan keluarga, tetapi banyak juga terjadi di luar rumah. Kekerasan itu dapat berupa perlakuan merendahkan anak atau
 bullying. 

"
Bullying merupakan sesuatu yang harus diterima oleh seorang anak yang tinggal di luar rumah. Karena itu adalah risiko yang terpaksa mereka dapatkan," ujar Indra yang juga staf pengajar di Departemen Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). 

Banyak anak harus terpaksa terjun memasuki dunia kerja untuk meringankan beban keluarga atau membantu menambah pendapatan keluarga. Mereka harus menjalani kerasnya hidup di tengah masyarakat tanpa mengenal waktu. Padahal pekerjaan tersebut mempunyai risiko besar yang cenderung membahayakan keselamatan diri mereka.
 

"Risiko yang mereka terima, mulai masalah kesehatan sampai menjadi korban tindak kekerasan, baik fisik, seksual, sosial maupun mental. Mereka harus rela menerima berbagai hinaan, cacian, kekejaman, dan kekerasan," tutur Indra yang juga dokter spesialis anak.
 

Anak-anak rentan mendapat perlakuan buruk tidak hanya dari orangtua, sopir angkutan umum, atau preman. Bahkan, perlakuan buruk dari oknum aparat kepolisian atau aparat ketertiban yang seharusnya memberi perlindungan terhadap masyarakat.
 

Banyak fakta yang terjadi di lapangan, aparat keamanan melakukan penindasan terhadap anak jalanan dengan cara memukul, menyeret, dan melakukan tindakan kekerasan lainnya karena dianggap mengganggu ketertiban umum.
 

Di saat yang sama, staf pengajar psikiatri FKUI/RSU Cipto Mangunkusumo Dr Lukas Mangindaan SpKJ(k) mengatakan, ciri dari anak yang mengalami terjadinya kekerasan terhadap anak adalah perubahan sifat anak yang secara drastis, seperti berdiam diri atau menarik diri dari pergaulan.
 

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penyiksaan terhadap anak. Salah satunya, himpitan ekonomi yang dialami suatu keluarga. Hal itu berdampak pada anak yang orangtuanya hidup di bawah garis kemiskinan.
 

Indra menuturkan, faktor penyebab terjadinya
 child abuse adalah bisa juga karena orangtua kecewa bahwa anak tidak sesuai dengan harapannya. "Misalnya si orangtua mengharapkan anaknya menjadi anak yang berprestasi, akan tetapi anak tersebut tidak bisa memenuhi keinginan orangtuanya, kemudian anak tersebut disiksa demi kepuasan orangtua semata," katanya.
(sindo//tty)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar